Unjuk rasa ribuan warga Timor Leste ke Kedubes Australia di Dili. Foto : Merdeka. |
Berita tetang aksi unjuk rasa ribuan warga Timor Leste ke Kedubes Australia di Dili dilansir Merdeka. Pada hari Selasa (22/3/2016) lalu lebih dari 10 ribu rakyat Timor Leste berunjuk rasa di luar Kedutaan Australia di Ibu Kota Dili. Kejadian demo itu merupakan demo terbesar dalam sejarah Timor Leste. Rangkaian unjuk rasa juga digelar pekan ini di luar kedutaan Australia di Manila, Jakarta, dan Kuala Lumpur. Protes juga terjadi di Sydney, Asutralia dan Melbourne.
Apa sesungguhnya yang sedang terjadi? Jawabannya terkait konflik puluhan tahun di sekitar perbatasan laut antara Australia dan Timor Leste, seperti dilansir junkee.com
Selama Timor Leste masih menjadi wilayah Indonesia, dulu bernama Timor Timur, pemerintah Indonesia dan Australia berbagi keuntungan atas sumber daya minyak dan gas di Laut Timor. Australia misalnya, bermitra dengan perusahaan-perusahaan minyak, terutama Woodside Petroleum, yang menyumbangkan USD 900 juta kepada pemerintah Australia hasil dari Laut Timor.
Setelah lepas dari Indonesia pada 2002, semua itu berubah. Pemerintahan baru Timor Leste melihat sumber daya alam itu sebagai motor penggerak ekonomi negara. Salah satu lokasi minyak terbesar di kawasan Laut Timor adalah ladang Greater Sunrise, yang diperkirakan bernilai USD 40 miliar.
Namun Australia mengklaim Greater Sunrise adalah bagian dari wilayah laut mereka. Klaim itu berdasarkan perbatasan di masa Timor Leste masih jadi bagian dari Indonesia. Padahal setelah Timor lepas dari Indonesia, menurut hukum internasional, Greater Sunrise adalah bagian dari wilayah laut Timor Leste.
Australia dan Timor Leste sebetulnya sudah berupaya membuat perjanjian baru soal perbatasan laut itu pada 2002. Namun tidak mencapai kata sepakat, hingga hari ini.
Meski begitu kedua negara setuju membagi keuntungan hasil dari minyak di Greater Sunrise dalam sebuah perjanjian bernama Kesepakatan Maritim di Laut Timor (CMATS) pada 2006.
Perjanjian itu menyatakan kedua negara berbagi hasil dari Greater Sunrise 50:50. Sebelumnya pendapatan dari ladang minyak itu 82 persen mengalir ke Australia dan sisanya ke Timor Leste. Mengingat ladang Greater Sunrise lebih banyak masuk ke wilayah laut Timor Leste dan Asutralia jauh lebih kaya ketimbang Timor, maka kesepakatan CMATS itu sesungguhnya tidak menguntungkan buat Timor Leste. Hal itulah yang menjadi pemicu unjuk rasa terbesar dalam sejarah Timor tiga hari lalu.
Kondisi itu diperparah dengan konspirasi intelijen Australia. Pada 2004, pemerintah Negeri Kanguru memberi mandat kepada sebuah perusahaan konstruksi asal Queensland untuk merenovasi kantor perdana menteri Timor Leste sebagai bentuk bantuan luar negeri dari Australia. Namun rupanya hal itu dimanfaatkan oleh intelijen Australia untuk memasang alat penyadap di ruang rapat kantor perdana menteri Timor guna memata-matai para pejabat Timor selama proses negosiasi.
Kini pemerintah Timor Leste berusaha membuka kembali dikusi soal perjanjian CMATS dengan Australia untuk merundingkan kejelasan batas laut. Setelah menunggu niat baik pemerintah Australia selama sekian tahun akhirnya tahun lalu pemerintah Timor mengajukan arbitrase terhadap Australia ke Mahmakah Internasional di Hague, Belanda.
Sementara itu Dubes RI untuk Timor Leste kemarin menyebut demo besar di Dili berjalan kondusif.
Rakyat Timor Leste yang geram menuntut perundingan penetapan batas maritim kedua negara, kemarin mereka kembali menggeruduk gedung Kedutaan Australia di Dili. Para pendemo mengatakan hubungan baik antara rakyat Timor Leste dan Australia kini dihantui kebijakan Canberra, terkait kemunculan lokasi-lokasi ilegal pengambilan Sumber Daya Alam (SDA) di wilayah teritorial Timor Leste.
Aksi serbuan ribuan massa ini diketahui tidak hanya dipadati oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), namun juga pelajar, dan veteran pejuang kemerdekaan Timor Leste. Mengingat banyaknya jumlah demonstran, Duta Besar Indonesia di Timor Leste, Primanto Hendrasmoro, mengatakan situasi demonstrasi tidak anarkis.
"Laporan yang saya terima situasi aman dan terkendali, yang demo tidak hanya kalangan LSM dan partai, tapi juga pelajar dan pegawai pemerintah," katanya kepada merdeka.com, melalui pesan singkat.
Dubes Primanto menambahkan, jalannya demo yang kondusif ini lantaran dukungan pemerintah setempat.
"Berjalan kondusif kok, demo ini 'disponsori' pemerintah Timor Leste".
Akibat permasalahan batas maritim dan soal bagi hasil kekayaan migas (Al Greater sunrise) di Laut Timor, rakyat Timor Leste mengaku merugi senilai USD 6,6 miliar.
Aksi demo besar hari kedua ini diketahui juga didukung oleh Mantan Perdana Menteri Timor Leste Xanana Gusmao. Dia mengatakan bila "rakyat Timor Leste harus berdiri melawan Australia dan bersama meminta Canberra untuk bernegosiasi dengan Dili dalam aturan garis batas maritim menurut hukum internasional," tegasnya awal pekan ini.
Kasus ini sepenuhnya bergantung pada keputusan pemerintah Australia. Joanne Walls, pengamat dari Universitas Nasional Australia mengatakan pemerintah Negeri Kanguru punya kewajiban moral untuk memperbaiki hubungan dengan Timor Leste.
"Cara untuk memperbaiki hubungan dengan Timor Leste adalah dengan menaati aturan hukum laut internasional. Australia adalah negara kaya dan mempunyai standar hidup tertinggi di dunia. Timor Leste masih negara termiskin di dunia dengan 37 persen penduduknya hidup di bawah garis kemiskinan. Dengan menaati hukum dan memandang kewajiban moral maka kita akan menjalin hubungan yang adil dengan negara tetangga terdekat kita."
Meski begitu kedua negara setuju membagi keuntungan hasil dari minyak di Greater Sunrise dalam sebuah perjanjian bernama Kesepakatan Maritim di Laut Timor (CMATS) pada 2006.
Perjanjian itu menyatakan kedua negara berbagi hasil dari Greater Sunrise 50:50. Sebelumnya pendapatan dari ladang minyak itu 82 persen mengalir ke Australia dan sisanya ke Timor Leste. Mengingat ladang Greater Sunrise lebih banyak masuk ke wilayah laut Timor Leste dan Asutralia jauh lebih kaya ketimbang Timor, maka kesepakatan CMATS itu sesungguhnya tidak menguntungkan buat Timor Leste. Hal itulah yang menjadi pemicu unjuk rasa terbesar dalam sejarah Timor tiga hari lalu.
Kondisi itu diperparah dengan konspirasi intelijen Australia. Pada 2004, pemerintah Negeri Kanguru memberi mandat kepada sebuah perusahaan konstruksi asal Queensland untuk merenovasi kantor perdana menteri Timor Leste sebagai bentuk bantuan luar negeri dari Australia. Namun rupanya hal itu dimanfaatkan oleh intelijen Australia untuk memasang alat penyadap di ruang rapat kantor perdana menteri Timor guna memata-matai para pejabat Timor selama proses negosiasi.
Kini pemerintah Timor Leste berusaha membuka kembali dikusi soal perjanjian CMATS dengan Australia untuk merundingkan kejelasan batas laut. Setelah menunggu niat baik pemerintah Australia selama sekian tahun akhirnya tahun lalu pemerintah Timor mengajukan arbitrase terhadap Australia ke Mahmakah Internasional di Hague, Belanda.
Sementara itu Dubes RI untuk Timor Leste kemarin menyebut demo besar di Dili berjalan kondusif.
Rakyat Timor Leste yang geram menuntut perundingan penetapan batas maritim kedua negara, kemarin mereka kembali menggeruduk gedung Kedutaan Australia di Dili. Para pendemo mengatakan hubungan baik antara rakyat Timor Leste dan Australia kini dihantui kebijakan Canberra, terkait kemunculan lokasi-lokasi ilegal pengambilan Sumber Daya Alam (SDA) di wilayah teritorial Timor Leste.
Aksi serbuan ribuan massa ini diketahui tidak hanya dipadati oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), namun juga pelajar, dan veteran pejuang kemerdekaan Timor Leste. Mengingat banyaknya jumlah demonstran, Duta Besar Indonesia di Timor Leste, Primanto Hendrasmoro, mengatakan situasi demonstrasi tidak anarkis.
"Laporan yang saya terima situasi aman dan terkendali, yang demo tidak hanya kalangan LSM dan partai, tapi juga pelajar dan pegawai pemerintah," katanya kepada merdeka.com, melalui pesan singkat.
Dubes Primanto menambahkan, jalannya demo yang kondusif ini lantaran dukungan pemerintah setempat.
"Berjalan kondusif kok, demo ini 'disponsori' pemerintah Timor Leste".
Akibat permasalahan batas maritim dan soal bagi hasil kekayaan migas (Al Greater sunrise) di Laut Timor, rakyat Timor Leste mengaku merugi senilai USD 6,6 miliar.
Aksi demo besar hari kedua ini diketahui juga didukung oleh Mantan Perdana Menteri Timor Leste Xanana Gusmao. Dia mengatakan bila "rakyat Timor Leste harus berdiri melawan Australia dan bersama meminta Canberra untuk bernegosiasi dengan Dili dalam aturan garis batas maritim menurut hukum internasional," tegasnya awal pekan ini.
Kasus ini sepenuhnya bergantung pada keputusan pemerintah Australia. Joanne Walls, pengamat dari Universitas Nasional Australia mengatakan pemerintah Negeri Kanguru punya kewajiban moral untuk memperbaiki hubungan dengan Timor Leste.
"Cara untuk memperbaiki hubungan dengan Timor Leste adalah dengan menaati aturan hukum laut internasional. Australia adalah negara kaya dan mempunyai standar hidup tertinggi di dunia. Timor Leste masih negara termiskin di dunia dengan 37 persen penduduknya hidup di bawah garis kemiskinan. Dengan menaati hukum dan memandang kewajiban moral maka kita akan menjalin hubungan yang adil dengan negara tetangga terdekat kita."
Ribuan Warga Timor Leste Mendemo Kedubes Australia di Dili
Reviewed by Ghost Ships
on
8:32 AM
Rating:
No comments: